Beberapa guru masih melakukan cara-cara pendidikan yang sebenarnya sudah sangat ketinggalan. Memandang pendidikan sebagai suatu kegiatan yang harus dilakukan sesuai dengan perintah atau kemauan guru tidak membuat anak didik berkembang secara optimal. Kesalahan-kesalan tersebut antara lain:
1. Memenjarakan tubuh siswa dalam wilayah yang terbatas. Kesalahan ini bertolak dari anggapan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika mereka duduk tegak di belakang meja dengan tenang.Beberapa penelitian yang dilakukan di Amerika membuktikan bahwa pembelajaran yang dilakukan dalam suasana yang informal (ada kebebasan mengatur tempat duduk, memilih cara yang mereka senangi dan menentukan sendiri cara-cara belajarnya sesuai dengan gayanya masing-masing) menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik daripada cara-cara tradisional formal. Ciri-ciri kesalahan ini terlihat ketika guru melarang anak meninggalkan tempat duduk, melakukan aktifitas yang sebenarnya mendukung aktifitas belajar siswa karena dianggap mengganggu. Keinginan guru adalah siswa duduk ditempat masing-masing, tenang, relatif tidak bergerak kecuali menulis. Hal inilah yang menyebabkan siswa seperti terpenjara dalam wilayah tempat duduknya.
2. Menganggap siswa akan belajar lebih banyak dan menghasilkan lebih baik jika mereka belajar dalam ruangan dengan pencahayaan yang terang.
Penelitian membuktikan bahwa banyak siswa yang menghasilkan kinerja jauh lebih baik dalam ruangan yang berpenerangan redup. Sinar terang malah membuat mereka gelisah, cemas, dan hiperaktif. Sebaliknya perenangan yang redup akan menenangkan dan membantu mereka merasa santai dan dapat berpikir dengan lebih jelas. Semakin kecil anak, semakin membutuhkan penerangan yang redup. Penerangan redup khususnya baik bagi anak-anak yang berprestasi rendah.
3. Kekeliriuan menganggap siswa belajar lebih baik jika dalam suasana yang sama sekali sunyi.
Beberapa penelitian menemukan bahwa banyak orang dewasa atau anak-anak yang lebih baik ketika belajar sambil mendengar musik. Juga banyak siswa sekolah dasar dan remaja dapat membaca lebih baik dengan adanya suara, bahkan suara bising. Ketika siswa yang sedang belajar membutuhkan suara harus bekerja keras dalam lingkungan yang sunyi, mereka dengan sangat cepat kehilangan konsentrasi lalu membuat suara sendiri misalnya dengan mengetuk-ngetukkan ujung jari, memainkan alat tulis, bersenandung, bersiul-siul, atau menghentak-hentakkan kaki.Dalam hal menghadapi siswa yang demikian biasanya guru memberi peringatan, dan peringatan ini itu sebenarnya adalah kekeliruan. Karena seberapa sering pun guru memberi peringatan kebiasaan itu akan terulang lagi karena kebutuhan. Meskipun kebanyakan guru lebih menyukai lingkungan belajar yang sunyi, mereka harus menyadari bahwa otak mereka bekerja dengan cara berbeda, dan apa yang baik bagi sebagian orang belum tentu baik bagi orang lain.
4. Anggapan bahwa siswa dalam mempelajari pelajaran-pelajaran yang sulit akan sangat baik jika dilakukan pada awal pagi ketika mereka dalam kondisi masih segar.
Hal ini tidak sepenuhnya benar karena bagaimana pun saat-saat belajar yang tepat bagi semua orang tidak selalu sama. Penelitian membuktikan bahwa ketika siswa diminta mempelajari konsep yang sulit pada waktu-waktu tertentu yang mereka sukai, maka perilaku, motivasi, dan prestasi mereka menjadi lebih baik.
5. Anggapan bahwa siswa yang tidak bisa duduk tenang/diam dianggap tidak siap belajar.
Banyak siswa yang memiliki kebiasaan banyak bergerak ketika belajar. Sebuah kajian di Amerika mengungkapkan bahawa pada sebuah kelas lebih dari separoh siswanya membutuhkan sangat banyak bergerak ketika belajar. Jika mereka kita biarkan bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya sambil menyerap informasi baru, ternyata secara statistik mencapai hasil yang lebih baik ketimbang mengharuskan mereka untuk tetap duduk di kursinya. Kebanyakan siswa yang terlibat secara aktif cenderung belajar lebih banyak, lebih memerhatikan, dan mencapai hasil tes yang lebih tinggi daripada mereka yang hanya duduk dan mendengarkan.
6. Melarang siswa belajar sambil makan sesuatu, dengan alasan tidak sopan.
Harus diakui bahwa kenyataannya banyak siswa yang konsentrasi belajarnya menjadi lebih baik jika ia sambil makan atau menggigit sesuatu, mengunyah atau minum saat belajar. Tampaknya stimulasi mulut dapat membantu mereka berkonsentrasi; dan karena otak mengalami dehidrasi selama terjadinya proses berfikir, perlu sekali siswa dibolehkan minum atau makan sesuatu yang banyak mengandung air. Siswa yang membutuhkan sesuatu dalam mulutnya harus dibiarkan makan camilan yang sehat, dan dengan teknik-teknik manajemen yang baik pasti tidak akan membuat situasi belajar menjadi kacau atau suasana kelas menjadi berantakan. ribuan guru yang menerapkan “kebijakan mengunah yang sehat” membuktikan bahwa cara tersebut berhasil menanamkan disiplin dan siswa dapat meningkatkan hasil belajarnya secara signifikan.
7. Menganggap bahwa pembelajaran yang efektif memerlukan tujuan-tujuan yang dinyatakan dengan jelas, diikuti dengan penjelasan langkah demi langkah yang terperinci dan berurutan, sampai siswa benar-benar mengerti apa yang diajarkan.
Siswa tipe holistis yang dominan otak kanan cenderung meraih konsep besarnya dahulu, baru kemudian meraih fakta-fakta dan detil-detil yang terkait. Siswa yang dominan otak kiri (analitis) memerlukan fakta-fakta lebih dahulu yang kemudian digunakan untuk membangun konsep. Dengan anggapan seperti di atas, maka hanya kelompok analitislah yang akan berhasil dengan baik. Sebagian besar guru mengajar secara analitis, sementara hanya sedikit yang mengajar secara holistis yang benyak menggunakan kreatifitas. Setiap guru harus (dan guru-guru yang sukses selalu melakukannya) memasukkan elemen-elemen kedua gaya tersebut dalam metode pengajaran mereka.
8. Anggapan bahwa instruksi yang ditujukan kepada seluruh kelompok adalah cara terbaik dalam mengajar.
Sebagian siswa memang dapat bekerja dengan baik dalam kelompok. Tetapi guru harus menyadari bahwa banyak yang lebih suka bekerja dengan berpasangan, sementara yang lain tidak bisa berkonsentrasi ketika ada orang lain disekelilingnya. Sementara itu, siswa yang berbakat cenderung lebih suka bekerja sendiri, sebagian lain lebih suka bekerja dengan orang yang lebih dewasa dibandinkan bekerja dengan teman sekelasnya, sedangkan yang lainnya lagi mungkin lebih suka bekerja dengan media daripada bekerja dengan teman-temannya. Cara mengatasi keragaman ini adalah mengajar dengan memberikan ruang untuk dilakukan variasi terhadap preferensi sosial para siswa di kelas.
9. Menganggap bahwa siswa yang lebih besar lebih mudah beradaptasi dengan gaya guru.
Siswa yang lebih besar umumnya memerlukan lebih sedikit pengawasan dan lebih sedikit struktur, tetapi mereka tetap saja belajar dengan cara yang berbeda, dan tetap saja memiliki kebutuhan belajar yang belum tentu sama. Mereka memang cenderung memerlukan kebebasan yang lebih besar seiring dengan pertumbuhannya. Tindakan yang tepat adalah memberikan mereka pilihan-pilihan yang mereka sukai dalam pembelajaran. hal ini akan mengembangkan mereka dalam hal tanggung jawab.
10. Anggapan bahwa masalah kemangkiran berkaitan dengan perilkau buruk, masalah di rumah, kurangnya motivasi dan faktor-faktor lain yang tidak ada hubungannya dengan gaya belajar.
Ketika preferensi gaya belajar siswa dipenuhi, maka tingkat kehadiran siswa menjadi jauh lebih baik. Kehadiran dan motivasi belajar siswa akan meningkat ketika diajar oleh guru yang gaya mengajarnya memiliki kecocokan dengan preferensi gaya belajar mereka.